BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia adalah salah satu diantara
hamper sejuta jenis makhluk lain yang hidup dialam dunia ini, yang tentunya
terdiri dari makhluk-makhluk yang sangat sederhana ragawi-nya, seperti misalnya
perbedaan kulit dan budaya. Hingga jenis makhluk yang bisa dikatakan sangat
kompleks, yaitu sifatnya beranekaragam. Namun diantara semua mkhluk tersebut
mempunyai keunggulan, yaitu kebudayaan-nya yang masing mempunyai perbedaan
tidak semua sama dan memungkinkan-nya dapat hidup di segala macam lingkungan
alam, sehingga ia menjadi mahkluk yang paling berkuasa dimanapun ia berada.
Walaupun demikian, segala kemampuan
manusia itu tidak merupakan bawaaan dari alam ( yang juga dinamakan “naluri”
karena sudah terprogram didalam genya, seperti halnya pada hewan ), tetapi
harus dikuasainya dengan belajar.[1][1]
Sebelum kedatangan bangsa-bangsa
Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah satu-satunya sistem yang mengatur
masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-kerajaan Melayu, mulai dari
Aceh, Riau, Malaka, Jawa, Banjar, Bugis, hingga Ambon dan Ternate. Agama Islam
pada umumnya terintagrasi dengan adat-adat yang dipakai di kerajaan-kerajaan
tersebut.
Adat Minangkabau pada dasarnya sama
seperti adat pada suku-suku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau
kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat
Minang sudah menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial, sejak
kedatangannya di wilayah Minangkabau sekarang ini. Kekhasan lain yang sangat
penting ialah bahwa adat Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh
pelosok nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap
individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa
menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur secara adat.
Selain hal-hal di atas, kita juga dapat mengetahui berbagai
kebudaya di Indonesia yang mengalami akulturasi. Karena proses akulturasi yang
terjadi tampak simpang siur dan setengah-setengah. Contoh, perubahan gaya hidup
pada masyarakat Indonesia yang kebarat-baratan yang seolah-olah sedikit demi
sedikit mulai mengikis budaya dan adat ketimurannya. Namun, masih ada beberapa
masyarakat yang masih sangat kolot dan hampir tidak mempedulikan perkembangan
dan kemajuan dunia luar dan mereka tetap menjaga kebudayaan asli mereka.
Karena latar belakang di atas kita menyusun makalah tentang
salah satu kebudayaan masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat Minangkabau.
Makalah ini akan memberikan wawasan tentang masyarakat Minangkabau yang
memiliki keragaman suku dan budaya.
Tentu-nya dipembahasan nanti penulis
sangat berharap makalah yang sederhana ini dapat menyuguhkan sedikit informasi
tentang kehidupan suku minangkabau ditanah minang
B.
Rumusan masalah
1) Bagaimanakah keadaan masyarakat Minangkabau ?
2) Bahasa apa yang suku minangkabau gunakan sebagai bahasa
sehari-hari ?
3) Bagaimana sistem mata pencaharian masyarakat minangkabau?
4) Bagaimana sistem perkawinan mereka ?
5) Bagaimana sistem kesenian mereka ?
6) Bagaimana sistem religi diminangkabau ?
7) Bagaimana sistem religi suku minangkabau dizaman kontemporer
sekarang ini?
C. Tujuan
dan Manfaat
v Tujuan
Untuk mengetahui kehidupan social mereka dan juga sistem
religi mereka yang bisa dikatakan sebagai suku terpandang, dan juga mengetahui
perkembangan agama khususnya agama islam ( Islamic religions ) suku minangkabau
pada era modernisasi sekarang ini
v
Manfaat
Memberikan pengetahuan pada masyarakat pada umumnya dan
mahasiswa pada khususnya tentang masyarakat Minangkabau.
.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keadaan suku minagkabau
Suku bangsa minangkabau mendiami
daratan tengah pulau sumatera bagian barat yang sekarang menjadi propinsi
Sumatera barat, Daerah asli orang tanduk kerbau dan hewan ini banyak dipelihara
untuk membajak di sawah dan untuk kurban upacara adat, akan tetapi suku bangsa
ini lebih suka menyebut daerah mereka dengan sebutan “Ranah minang” atau tanah minang bukan ranah kabau atau
tanah kerbau, sementara itu dalam pergaulan antarsuku bangsa orang Minangkabau
dengan sesamanya menyebut diri Urang Awak ( Orang kita )[2][2]. Istilah suku pada masyarakat ini tidak sama dengan “suku
bangsa”, suku lebih setara dengan marga pada orang batak.
B. Bahasa suku minangkabau
Bahasa minangkabau termasuk kedalam
rumpun bahasa melayu Austronesia dengan aturan tata bahasa yang amat dekat
dengan bahasa Indonesia, karena itu dekat pula dengan bahasa melayu lama yang
mendasari bahasa Indonesia, kata-kata Indonesia dalam bahasa minangkabau hanya
mengalami sedikit perubahan bunyi, seperti tiga menjadi Tigo, lurus
menjadi Luruih, Bulat menjadi Bulek, Empat menjadi ampek Dan
sebagainnya.[3][3]
C. Mata pencarian Suku minangkabau
Mata pencarian utama orang
minangkabau adalah bertanam padi disawah berteras-teras dengan sistem irigasi
tradisional atau dengan sistem irigasi tradisional atau dengan sistem tadah
hujan, sebagian ada pula yang bertanam padi diladang, tanaman pertanian lain
adalah sayur-mayur, kopi, cengkeh, kulit manis, kelapa, buah-buahan dan
sebagainnya, sebagian bekerja menangkap ikan disungai dan laut atau berternak
bermacam-macam hewan, pada masa sekarang orang minangkabau banyak yang menjadi
pedagang atau membuat rumah makan, pegawai dan ahli sebagai bidang jumlah
populasinya sulit untuk dihitung, karena banyak tersebar diberbagai daerah di
Indonesia. Tapi paling tidak ada sekitar 6 juta jiwa[4][4].
D. Sistem perkawinan suku minangkabau
Dalam sistem perkawinan orang minang
yang bersifat eksogami suku pihak pihak pemberi lelaku ( sumando ) bagi
seorang anak disebuat Bako, sedangkan pihak penerima lelaki ( karena
orang minang menganut adat menetap sesudah kawin yang matrilokal ) disebut anak
pisang ikatan kekerabatan secara adat antara pihak bako dan anak pisang ini
disebut pasumandan. Walaupun gelar-gelar adat kepenghuluan diwariskan
dari mamak (saudara lelaki ibu) kepada kemanakan (ego lelaki ) akan tetapi ada juga
“gelar” yang berikan oleh pihak bako ( pihak ayah ), terutama gelar-gelar untuk
seorang laki-laki yang bukan penghulu atau Datuk, Yaitu gelar sutan,
memang sudah menjadi adat bagi orang minang untuk mengganti nama kecil
seorang pemuda dengan sebutan gelar dari pihak bako ketika ia dewasa atau sudah
menikah, Gelar sutan ini menunjukkan bahwa seorang pemuda telah diterimah satu
tahap dilingkungan pergaulan adat masyarakat negeri-nya biasanya gelar sutan
itu dilengkapi pula, misalnya menjadi Sutan Pamenan, sutan Tanbijo, sutan
Alamsyah dan sebagai-nya[5][5].
E. Sistem kesenian Suku Minangkabau
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan
kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun
perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan
merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun
ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya
tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya
sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan
lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas
suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang
bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan
nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni
peran (acting) berdasarkan skenario.
Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni
berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan),
indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih
mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme.
Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan
harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.
Sebuah pertunjukan kesenian talempong, salah satu alat musik
pukul tradisional Minangkabau.[6][6]
F.
Sistem Religi atau keagamaan suku
minangkabau
Kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir
abad ke-18, telah menghapus adat budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan
hukum Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak,
diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang. Para ulama yang dipelopori
oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Tuanku Nan Renceh mendesak kaum adat untuk
mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya
animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah perang
Paderi yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian
di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik
pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariah
Islam. Hal ini tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Syarak mangato adat mamakai (Adat bersendikan kepada syariat,
syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan abad
ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan
pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di
Minangkabau memiliki masjid, disamping surau yang ada di tiap-tiap lingkungan
keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di
surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik
berupa ilmu bela diri pencak silat.
G.
Sistem religi suku minangkabau
dizaman kontemporer sekarang ini
Pada masa sekarang boleh dikatakan
seluruh orang minangkabau telah memeluk agama islam, akan tetapi sisa-sisa
kepercayaan lama yang animistik dan dinamistik masih bisa di temui di beberapa
tempat, sebagian masih percaya kepada tempat atau benda-benda tertentu sebagai keramat
( Dihuni oleh Roh tertentu ), percaya kepada adanya Hantu, kuntilanak,
sijundal, Orang bunian ( orang halus dan lain-lain.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebudayaan minang memiliki ragam budaya yang memiliki
potensi besar bagi kekayaan kebudayaan Indonesia.
Orang melayu umumnya diidenditaskan sebagai orang yang
tinggal di tanah melayu, beragama islam, dan melaksanakan adat istiadat melayu,
namun sebenarnya melayu sendiri ibarat rumah yang di isi oleh berbagai macam
penghuni dengan berbagai macam jenis pandangan hidup pula dan tidak harus orang
yang mendiami daerah melayu. Dikarenakan dalam perkembangan zaman melayu
memiliki berbagai macam versi. Namun keanekaragaman yang ada dapat memberi
warna baru bagi kekayaan kebudayaan
Indonesia yang perlu ketahui dan kita lestarikan.
B. Saran
Keaekaragaman kebudayaan Indonesia terutama kebudayaan
melayu harus senantiasa kita jaga dan kita lestarikan, mulai dari
memperkenalkan kebudayaan-kebudayaan kepada tiap-tiap generasi diantaranya
melalui pendidikan kebudayaan Indonesia.
Perlu diadakannya penelitian lanjut mengenai kebudayaan
Indonesia terutama kebudayaan minang, untuk mengetahui seluk beluk sejarah dan
perkembangan kebudayaannya.
C.
Penutup
Demikian makalah ini dibuat, dan
kami anggap telah memenuhi syarat-syarat ilmiah sehingga layak disebut sebagai
karangan ilmiah. Maka akhirnya makalah ini akan memberikan manfaat bagi penulis
khusunya berupa penambahan wawasan tentang kajian Religi dan Buadaya Lokal,
begitupun bagi pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, pengantar
Antroplogi, Penerbit : Rineka cipta Jakarta : juni 1996, 206 hlm
Hidayah Zulyani. “ Ensiklopedi suku bangsa di
indonesia”, Jakarta.
http://belajarbarengziya.blogspot.com/2012/06/makalah-kebudayaan-minangkabau.html
Diakses Tgl 26 September 2013.
“
Sebaik-baik insan yakni dia yang mampu menerima segala perbedaan dengan
bersifat pluralis”.
(Moh.khoirul
fatih)
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking